Selasa, 31 Mei 2011

Buah Karya

Mentari
Oleh : W.P. Laksana

Indahnya mentari di pagi hari
dengan pesonamu kau buat diriku terkagum dan tersanjung
kau selalu membuatku ke dalam kedamaian hati ini
kau selalu membuatku sadar
bahwa keagungan Tuhan dapat membuat segalanya
seperti kau yang nampak cantik dan menawan
walaupun saat kau berada dikepalaku
seakan kau tampak jahat dan mencoba membunuhku dengan panasmu
tetapi semua itu ialah takdir Ilahi
dengan sifatmu yang panas
tersembunyi kehangatan dan keindahan
kaulah sumber kehidupan dari segalanya
tanpa adanya dirimu
kami semua takkan pernah ada sampai kapanpun
terima kasih ku ucapkan untukmu sang mentari :)

Kamis, 19 Mei 2011

Buah Karya

Topeng Kepalsuan
Linda Sari Wulandari
Ku amati waktu yang terus berjalan
Sadarkah kalian wahai kawan
Kemewahan dunia menipu mu
Kini manusia tak ragu mengenakan topeng
Menutupi kebusukkan jiwanya
Raga yang terlihat kokoh
Balutan busana yang terlihat indah
Membutakan panca indra
Kemewahan telah membuat semua lupa diri
Akan apa yang sebenarnya kita cari
                                                                                                                                                Jatinangor, 20 Mei 2011

Buah Karya

Sandiwara Kaleng kecil
(Linda.S.Wulandari)


Dipersimpangan jalan engkau berdiri
Dibawah lampu merah engkau bernyanyi
Tangan mungilmu meminta belas kasih
Berbekal kaleng kecil mencari sesuap nasi
Kerasnya debu jalanan merenggut masa depan

Engkau yang berbadan kecil menyisiri panasnya jalanan
Melihat mereka yang hidup serba kelebihan
Duduk manis dalam buaian kaleng kemewahan
Dengan balutan busana hitam yang menawan
Menjadi topeng ditengah masyarakat

Lihatlah, lihat perut buncit mereka
Mereka merenggut hartamu
Mereka memakan apa yang seharusnya kau makan
Bersabarlah, bersabar wahai kawan
karena dimata-Nya, engkau lebih indah di banding mereka

Jakarta, 16 Mei 2011

Selasa, 17 Mei 2011

Untaian Rantai yang Indah :)

Seharian ini saya benar-benar merasa lelah sekali, tugas kuliah menumpuk, semua tugas hampir saja berantakan.. haha mungkin ini juga akibat kebodohanku karena telah melalaikan tugas-tugas itu, yang akhirnya menumpuk, berserakan, menyebar, dan berterbangan di benakku. Pikiranku sedang kacau, tapi apa boleh buat saya harus tetap bisa bersikap profesional dalam mengerjakan segala sesuatu. Sebenarnya, yang telah membuat saya masih bisa menulis catatan di blogger ini, yaitu semangat yang diberikan oleh seseorang yang selalu ada dan mendampingi saya baik dalam keadaan suka dan duka,, haha saya sangat senang dan bersyukur, karena dia selalu ada dikala saya sedang jatuh.. Oya, sebenarnya saya hanya ingin share kata-kata motivasi dari dia yang membuat saya bersemangat lagi, dikala saya sedang drop,, haha simak yaa :D =>

"Hidup adalah BELAJAR, belajar bersyukur mesti tak cukup, belajar menerima meski tak rela, belajar taat meski berat, belajar memahami meski tak sehati, belajar bersabar meski terbebani, belajar setia meski tergoda, belajar memberi meski tak seberapa. Tetapi semua itu adalah PROSES, dimana kita harus belajar dan mengerti:Kasih, Cinta, Tulus dan Iklhas" 17 mei 2011 :) W.P.Laksana :*

Semoga untaikan kata diatas juga bisa menjadi motivasi teman-teman semua saat teman-teman merasa ga bersemangat dalam menjalani sesuatu.. semoga bermanfaat :D

Pengkajian cerpen 'Tuan Alu dan Nyonya Lesung' koran Tempo'15 Mei 2011

Buah Manis Kesungguhan dan Keiklasan
Sebenarnya ketika saya baru membaca sebagian dari cerpen ‘Tuan Alu dan Nyonya Lesung’ karya Zelfeni Wimra  saya belum mengerti apa maksud dari cerpen ini, namun setelah saya menyelesaikan cerpen ini hingga penghujung cerita, saya akui cerpen ini sangat menarik. Karena penulis telah berhasil menyampaikan pesan kepada pembacanya melalui tokoh dalam bentuk tumbuhan dan batu. Sebuah penciptaan yang menarik, sebagai cerpen yang baru saja mengisi kolom sastra, yang diterbitkan oleh koran Tempo pada tanggal 15 Mei 2011.
            Sebuah batu dan sebatang pohon dapat di bentuk sedemikian rupa menjadi wujud tokoh seperti manusia, tokoh dan perilaku Tuan Alu dan Nyonya Lesung  dapat mewakili perilaku manusia tentang takdir dan nasib yang sudah digariskan oleh Tuhan untuk makhluk ciptaan-Nya.

            Tuan Alu yang merupakan sebatang pohon yang dibentuk sebagai sebuah Alu, dan nyonya Lesung yang merupakan sebuah batu kali, yang dibentuk sebagai sebuah lesung. Dari asal yang berbeda, wujud yang sangat berbeda jauh, membawa masa lalu yang pahit, namun atas takdir Tuhan, dan nasib baik mereka, beserta keikhlasan mereka masing-masing, akhirnya mereka dipertemukan dan dipersatukan oleh takdir dan nasib, sesuai berjalannya waktu.
            Pada permulaan cerita, cerpen ini kurang menarik, mungkin disebabkan belum terlalu banyak muncul konflik, dalam awal cerita diceritakan konflik batin dari tokoh Tuan Alu, yang ditakdirkan hidup sebagai sebatang pohon kopi yang selalu merasa kesepian dan merana, karena ketika dia mulai tumbuh subur dan menghasilkan buah kopi, manusia langsung memangkas bagian tubuh Tuan Alu untuk memanen buah kopi. Namun, lama kelamaan Tuan Alu sadar akan takdirnya, semakin hari dia merasa dapat lebih tabah dalam menjalani kehidupannya. Terlihat dari kutipan berikut ini:
Tuan Alu pun sudah mengganti cara ia menggunakan perasaan. Ketika pangkal batangnya di tebang parang, ia merasakan sakit. Sangat sakit. Tapi, secepat kilat ia paksa dirinya menukar perasaan sakit itu dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Ia tekankan pada dirinya: diperlukan banyak kesakitan untuk keluar dari kesepian.” (halaman C2)

 Mungkin dalam bagian ini juga, kita mendapat pesan moral, bahwa manusia memang memliki sifat yang serakah, namun memang sudah garisan Tuhan, Tuhan sudah menciptakan segala sesuatu secara berpasangan, saling melengkapi kekurangan satu sama lain, sehingga semua yang menjadi kekurangan dapat ditutupi sesuai dengan besarnya kebutuhan.
Saya suka dengan tokoh Tuan Alu, karena sikapnya yang dapat menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya, walaupun dia  sedang bersedih dan merasa kesepian, namun dia masih bisa terlihat bahagia dan riang. Sedangkan manusia jika sedang mendapatkan masalah yang berat, manusia sering merasa bahwa hanya dialah yang paling menderita di muka bumi ini. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut sebagai berikut:
Sungguh, kehidupan yang sangat nyaman bagi Tuan Alu. Ia terbilang paling rimbun di belantara kebun tinggal itu. Akan tetapi, siapa yang tahu, ia tampak selalu bahagia, selalu riang dan rindang, rupanya sedang mangandung malang. Ia mengidap sakit sepi. Sepi. Sepi di tengah keramaian belantara. Tumbuh ceria, riang, dan rindang lalu setiap musim menerbitkan buah saja, ia rasakan tidak cukup. Selalu ada yang mengentak-entak dalam umbut batangnya.” (halaman C2 ).
Namun, ketertarikan saya bukan hanya itu saja. Selain tokoh Tuan Alu, adapula tokoh Nyonya Lesung. Berbeda dengan Tuan Alu. Nyonya lesung berasal dari sebuah batu kali yang selalu hanyut dan terendam oleh arus air yang deras. Hingga akhirnya dia terdampar di pinggiran kali dan terjerat di bawah akar pohon. Yang akhirnya terkikis dan tubuhnya berlubang karena tetesan air yang terus menusuki tubuhnya serta akhirnya manusia menambah besar lubang ditubuhnya. Tubuhnya dipahat dan akhirnya kini dia adalah sebuah lesung.
Walaupun memiliki masa lalu demikian, namun nyonya Lesung tidak pernah berputus asa, kesedihan karena kesepian yang dia alami, dia ubah menjadi perasaan cinta, seperti ketika dia masih terseret-seret arus air dan tetesan-tetesan air membuat lubang ditubuhnya, dia merasa sangat tersakiti. Namun perasaan itu dia ubah menjadi perasaan cinta, dan kelembutan. Dia ikhlas dalam menjalani semua kisah hidupnya. Dan mungkin dibalik penderitaan itu, akan dia temui sebuah kebahagiaan. Ternyata benar, akhirnya setelah dia rasakan perjalanan hidup yang begitu pahit, akhirnya dengan wujudnya sekarang yang telah berubah menjadi sebuah lesung, dia bisa bertemu dengan tuan Alu, tuan Alu yang memiliki kisah masa lalu yang tidak terlalu berbeda dengan kisahnya.  Dapat kita lihat dalam kutipan sebagai berikut:
‘"Tahukah kau, Tuan. Seperti sering kuceritakan padamu, aku ini induk segala sakit. Lepas dari tusukan air, aku disambut tikaman pahat. Lubangku diperbesar oleh pahat. Kepadaku ditekankan keharusan bersabar dan yakin, kehidupan baru telah menungguku. Aku dipersiapkan menjadi Nyonya Lesung. Tuan Alu, kekasih pendamping hidupku juga telah dipersiapkan. Hidup bersama air tidak menghasilkan banyak perubahan. Hanya sebatas alasan, bahwa kelembutan titik air bisa melubangiku!
‘Kata tangan yang memahatku, sebetulnya lebih tepat memperkosaku: hidup bersama Tuan Alu akan lebih menyenangkan. Lebih jelas hasilnya.
‘Jujur, pertama kali merasakan entakanmu di lubangku, aku seketika terbayang pada kelembutan sentuhan air. Ampun, tuan. Pada persentuhan kita yang pertama itu aku diam-diam telah membanding-bandingkanmu!”’ (halaman C2)
Tuan Alu dan nynya Lesung sebelum dipertemukan, mereka selalu merasa kesepian sebelum mereka dipertemukan. Mereka menyadari bahwa memang mereka saling membutuhkan untuk mengobati rasa kesepian yang selalu hinggap dalam hidup mereka. Kini mereka sudah bisa saling mengisi kekosongan diri mereka satu sama lain. Mereka sadar bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Takdir dan nasib yang sudah menyatukan mereka. Namun, takdir dan nasib juga yang dapat memisahkan mereka. Mereka selalu iklhas dalam menjalani sesuatu hingga akhirnya mereka mendapatkan kebahagiaan seperti apa yang mereka pikirkan. Pasti akan ada hal-hal baru setelah kita menjalani segala sesuatu, walaupun hal yang kita jalani itu, sesuatu yang sangat menyakitkan bagi kita. Tapi percayalah dibalik itu semua akan ada hal baru, yang tentunya akan lebih baik dari sebelumnya.
Takdir, nasib, sudah ada yang mengatur. Jodoh, garis kehidupan sudah ada yang menetapkan. Kini tinggal bagaimanakah kita menyikapi semua itu, serta akan diarahkan kemanakah jalan hidup kita. Jalani semua itu dengan suka rela dan sambut masa depan dengan kebahagiaan. Dan percaya bahwa apa yang akan kita temui dikemudian hari adalah sesuatu yang terbaik untuk kita. Itu semua adalah petunjuk dari Sang Maha Pencipta.
Ibarat peribahasa mengatakan “berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Namun, jika sesuatu yang telah kita raih itu akhirnya menghilang itu semua sudah menjadi suratan dan jika alam berkehendak lain. Seperti yang dijelaskan di akhir cerita, sebagai berikut:
“Sejak itu, memang, sampai cerita ini diterbitkan, Tuan Alu dan Nyonya Lesung tidak pernah terpisahkan. Sekalipun hanya satu dua orang menumbuk padi, tepung atau kopi, Tuan Alu dan Nyonya Lesung selalu terlihat bersama.
Kecuali, barangkali, alam berkehendak lain. Misalnya, karena jarang digunakan, ujung badan Tuan Alu kembali menerbitkan tunas lalu menjadi pucuk. Akar pun tersembul dari pangkalnya, menyerap makanan dari sari pati tanah dan akhirnya Tuan Alu tumbuh lagi sebagai sebatang kopi.
Begitu juga dengan tubuh Nyonya Lesung. Lantaran jarang ditumbuki Tuan Alu, lubang di badannya kembali mengeras, kembali ke bentuk semula, seperti sebelum dilubangi air. Ia pun menggelinding lagi ke arus sungai. Berendam ke dalam sunyi abadi. Ya, jika alam berkehendak lain.”
(halaman C3)
Jika kita ibaratkan tuan Alu dan nyonya Lesung sebagai manusia. Tuan Alu ibarat lelaki yang sedang berjuang dalam melawan kesepian, walaupun dia terlihat bahagia, tetapi dia tetap memiliki kelemahan. Walaupun begitu, dia tetap berharap dengan keadaanya yang seperti itu,dia bisa lebih baik lagi. Dan nyonya Lesung yang diibaratkan sebagai sosok seorang perempuan yang memiliki nasib hampir sama dengan lelaki itu. Perempuan itu telah menemukan kebahagiaan yang sesaat. Dia mendapatkan kebahagiaan itu dengan susah payah, hingga batinnya terus merasa tersiksa. Namun, akhirnya perempuan itu bisa mendapatkan kebahagiaan karena telah menemukan tambatan hatinya. Walaupun demikian, kebahagiaan lelaki dan perempuan itu tidaklah kekal. Karena alam yang akan menentukan nasib mereka kelak. Ibarat manusia, mungkin kematianlah yang akan memisahkan hubungan cinta diantara dua insan yang menjadi satu. Oleh karena itu, haruslah kita selalu mengingat, semua yang ada di dunia ini tidaklah kekal, kita semua ada yang memiki dan di akhir nanti, akan kembali lagi kepada pemilik-Nya.

Sabtu, 14 Mei 2011

Hidup ini bagaikan roda yang akan terus berputar

“Aku dan Sandiwara Kupu-kupu”
                                                                                                                Karya: Linda sari wulandari
Aku sedang bermain sandiwara
Sebuah sandiwara kehidupan
Berlagak diatas panggung
Memainkan sebuah peran penting

Aku berperan menjadi kupu-kupu
Kupu-kupu yang sedang bermetamorfosis
Semua sekenario kehidupan sudah diatur
Berawal dari sebuah telur suci

Aku berperan menjadi sebuah telur
Hingga akhirnya menjadi ulat
Ulat yang amat terlihat buruk rupa
Hingga Jarang manusia menyukai rupaku

Aku tak ingin selamanya menjadi ulat
Lalu mati dengan segala kehinaanku
Lupa akan rupaku yang buruk
Lupa akan perbuatan yang kadang merugikan

Aku harus terus berlagak diatas panggung
Meneruskan jalan cerita kehidupan
Aku tak mau berhenti begitu saja
Mengakhiri peranku saat ku menjadi ulat

Aku harus berubah menjadi kepompong
Kepopong ini adalah ketenangan
Kini saatnya ku harus merenung
Bercermin atas keburukan rupa

Aku kini adalah sebuah kepompong
Aku harus bangkit
Aku harus merubah peranku
Aku harus mengakhiri sandiwara ini

Aku akan mengakhiri peranku
Aku akan memberikan keindahan
memperbaiki sikapku yang merugikan dulu
Tekadku sudah bulat aku hanya ingin berubah

Akhirnya...akhirnya aku berhasil
Aku bermetamorfosis dengan sempurna
Aku kini adalah kupu-kupu
kupu-kupu terindah dalam sandiwara kehidupan







Seribu Kunang-kunang di Manhattan

Seribu Kunang-kunang di Manhattan

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

“Bulan itu ungu, Marno.”

“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”

“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”

“Kuning keemasan!”

“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”

Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.

“Marno, Sayang.”

“Ya, Jane.”

“Bagaimana Alaska sekarang?”

“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”

“Maksudku hawanya pada saat ini.”

“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”

“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju. Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”

“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”

“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”

Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.

Dari dapur, bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”

“Ya, ada apa dengan dia?”

“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”

Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.

“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”

“Tapi minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”

“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”

“Oh.”

“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”

Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.

“Marno, Manisku.”

“Ya, Jane.”

“Bukankah di Alaska, ya, ada adapt menyuguhkan istri kepada tamu?”

“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”

“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”

“Kenapa?”

“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”

“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.

“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”

Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”

“Kau anak yang manis, Marno.”

Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

“Marno.”

“Ya, Jane.”

“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh.”

Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.

Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.

“Eh, kau tahu, Marno?”

“Apa?”

“Empire State Building sudah dijual.”

“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”

“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”

“Tidak. Bisakah kau?”

“Bisa, bisa.”

“Bagaimana?”

“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”

Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.

“Oh, kalau saja …..”

“Kalau saja apa, Kekasihku?”

“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”

“Lantas?”

“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”

“Kau anak desa yang sentimental!”

“Biar!”

Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.

“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”

“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”

Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.

Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.

“Jet keparat!”

Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.

“Aku merasa segar sedikit.”

Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……

“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”

“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”

“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”

“Marno.”

“Ya.”

“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”

“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”

“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”

Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?

“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”

“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”

“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”

“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”

“Aku membosankan jadinya.”

Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.

“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”

Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya.

Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.

“Marno, kemarilah, duduk.”

“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”

“Kemarilah, duduk.”

“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”

“Kunang-kunang?”

“Ya.”

“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”

“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”

“Begitu kecil?”

“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”

“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”

“Ya, pohon-hari-natal.”

Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.

“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”

“Ya.”

“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”

“Mainan kekasih?”

“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”

“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”

“Itu bukan mainan, itu piaraan.”

“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”

“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”

“Siapa dia?”

“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”

“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”

“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”

Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.

“Marno, Sayang.”

“Ya.”

“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”

“Belum, Jane.”

“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”

Marno tersenyum

“Aku tidak tahu, Jane.”

“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”

Marno tersenyum

“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”

Sekarang Jane ikut tersenyum.

“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”

“Apakah itu, Jane?”

“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”

Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.

“Aku harap kausuka pilihanku.”

Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.

“Kausuka dengan pilihanku ini?”

“Ini piyama yang cantik, Jane.”

“Akan kaupakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”

Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.

“Jane.”

“Ya, Sayang.”

“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”

“Oh? Kau banyak kerja?”

“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”

”Kaumerasa tidak enak badan?”

“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”

“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”

“Terima kasih, Jane.”

“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”

“Oh”.

Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.

“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”

“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”

‘Tentu, Jane.”

“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?

“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”

“Kautahu nomorku kan? Eldorado”

“Aku tahu, Jane.”

Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.

Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.***

Cerpen Umar Khayam