Jumat, 19 Agustus 2011

Pengkajian Novel Azab dan Sengsara - Merari Siregar


Awan Mendung Mariamin
Novel Azab dan Sengara buah tangan Merari Siregar merupakan tonggak lahirnya sastra Indonesia modern. Novel ini sudah bergeser dari bentuk hikayat ke bentuk roman. Setelah membaca biografi singkat dari Merari Siregar yang lahir tepat pada tanggal 13 Juli 1896 di Sipirok, Tapanuli, Sumatera Utara, dia merupakan penduduk asli Sipirok, tempat yang dia jadikan sebagai latar dalam ceritanya itu. Oleh karena itu, novel Azab dan Sengsara ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar mengenai adat yang ada dalam lingkungan masyarakat Sipirok  tempat dimana dia telah dibesarkan.
Setalah membaca keseluruhan isi novel Azab dan Sengara, saya dapat menyimpulkan bahwa buah tangan Merari Siregar ini, merupakan kritik tidak langsung terhadap adat dan kebiasaan buruk kuna yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman modern. Novel ini ialah novel pertama yang mengisahkan cerita mengenai perkawinan dan adat, dengan tema perkawinan yang berhubungan dengan harkat dan martabat keluarga.
Dalam novel Azab dan Sengsara diceritakan nasib buruk seorang gadis cantik dan shaleha bernama Mariamin, yang memiliki keinginan untuk menikah dengan kekasihnya yang bernama Aminu’ddin, seorang pemuda yang baik dan murah hati. Namun keinginannya itu tidak dapat tercapai, karena orangtua kekasihnya itu tidak setuju. Aminu’ddin yang juga saudara sepupu Mariamin dilarang orangtuanya mengawini Mariamin karena dia miskin. Sebenarnya orang tua Mariamin dahulu kaya, tetapi karena keserakahan ayahnya, Sutan Baringin meninggal, ia meninggalkan anak-istrinya dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Setelah kawin dengan seorang laki-laki yang bernama Kasibun yang ternyata sudah memiliki istri dan berpenyakit kelamin yang dapat menular, yang juga suka menganiaya Mariamin hingga akhirnya mereka bercerai. Akhirnya Mariamin gadis suci yang berhati putih itu meninggal dalam kesengsaraan. Begitulah akhir dari cerita Azab dan Sengsara ini.
Jika dilihat dari isi cerita novel ini. Memang azab dan sengsara itu selalu mengikuti tokoh Mariamin sebagai tokoh utama dalam novel ini. Azab karena perbuatan Sutan Baringin ayah dari Mariamin yang memiliki sifat serakah dan tidak pernah mengindahkan nasihat istrinya itu, menjadi azab bagi dirinya sendiri yang akhirnya meninggal dengan meninggalkan kesengsaraan kepada istri dan dua anaknya, yang akhirnya selama hidup mereka menanggung sengsara hingga akhir hayatnya.
Novel Azab dan Sengsara ini merupakan novel pertama, yang memberikan gebrakan baru novel modern pada tahun 1920 pada zaman Balai Pustaka. Meskipun demikian novel ini tidak terlalu memerhatikan situasi karakter atau sifat kejiwaan masing-masing tokohnya. Dimana ada kesempatan pengarang selalu memberikan nasihat yang panjang yang kelihatan baik di mata pengarang dari para tokoh-tokohnya. Hal demikian dapat kita lihat ketika pada halaman 8 novel ini, ketika Aminu’ddin bercerita kepada Mariamin, kisah seorang penjual kayu api yang serakah hingga dia sengsara dan mati, serta kisah seorang pengembala yang hidup dengan bahagia di tengah hutan. Selain itu,ada pula cerita mengenai perempuan malam yang diceritakan di awal dan akhir novel ini. Alhasil, novel ini terlalu berbelit-belit dan kadang terlalu jauh membicarakan sesuatu yang bukan inti dari ceritanya.
Novel Azab dan Sengsara ini ialah roman pertama yang mengisahkan tentang kawin paksa dan juga derita yang dialami para tokoh akibat dari perkawinan yang tidak dilandasi atas dasar cinta kasih. Dapat kita lihat dalam kutipan Azab dan Sengsara, sebagai beikut:
“Demikian perempuan yang malang itu menjadi kurban adat yang sudah kuno itu. Kalau sekiranya persahabatan kedua anak muda itu, persahabatan persahabatan dari waktu anak-anak sehingga besar, bertambah rapat kalau sekiranya jiwa manusia yang kedua itu dipadu menjadi satu, sudah tentu bertambah dua orang manusia di atas bumi ini yang hidup beruntung serta bersenang hati.” (halaman 181).
Dalam kutipan di atas dapatlah saya simpulkan bahwa perkawinan yang dipaksakan akan membawa penderitaan seumur hidup.
Sebenarnya, pada zaman Balai Pustaka, selain novel Azab dan Sengsara yang lahir pada tahun 1920, ada pula novel pertama yang terbit dalam bahasa Sunda yang berjudul Baruang Ka Nu Ngarora ‘racun bagi kaum muda’ yang lahir pada tahun 1914 buah tangan dari D.K. Ardiwinata, novel Baruang Ka Nu Ngarora ini memiliki tema yang hampir sama dengan Azab dan Sengsara. Novel ini bertema perkawinan dan hubungan dengan harkat martabat keluarga. Meskipun demikian, novel Azab dan Sengsara dan Baruang Ka Nu Ngarora belumlah secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam hubungan dengan adat.
Saya pernah berpikir sebenarnya apakah novel pada masa Balai Pustaka itu memang memiliki tema mengenai akibat buruk perkawinan yang tidak dilandasi oleh cinta? Karena, dilihat dari dua novel pertama Azab dan Sengsara dalam bahasa Indonesia dan Baruang Ka Nu Ngarora dalam Bahasa Sunda ini memiliki tema yang sama-sama membahas mengenai perkawinan yang dipaksakan karena pengaruh adat kuna serta memegang teguh martabat keluarga. Tetapi setelah saya membaca buku Ikhtiar Sejarah Sastra Indonesia karya Ajip Rosidi, saya sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya di atas. Ternyata roman Azab dan Sengsara ini ialah roman pertama yang membahas mengenai perkawinan yang tidak dilandasi kemauan diri sendiri, dan pemaksaan kehendak yang disebabkan adanya adat kuna serta perkawinan yang berhubungan dengan martabat keluarga yang membuat penderitaan seumur hidup, yang kemudian untuk kurang lebih dua puluh tahun lamanya menjadi tema yang paling digemari dan paling banyak dikemukakan dalam roman-roman Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar